Menulis Butuh pengorbanan

 Menulis adalah suatu kebutuhan, untuk menghibur diri, untuk mengeluarkan uneg-uneg, untuk mengolah kreatifitas dan lain - lain. Tetapi menulis juga merupakan sebuah pengorbanan. Terutama berkorban waktu untuk menulis itu sendiri. Ada waktu yang yang harus dikorbankan untuk sebuah tulisan, namun akhirnya ada suatu kebanggaan tersendiri, ketika tulisan itu selesai dibuat.

Aku mengenal dunia tulis menulis pertama kali lewat kakak iparku, Mas Agus Yuwantoro, beliau saat itu jadi kurator cerpen di buku antologi dibawah bimbingan Ibu Sri Sugiastuti atau sering disebut Ibu Kanjeng. Saat kami dalam perjalanan kondangan bersama ke luar kota, aku ditawari untuk ikut serta membuat cerpen. Aku tertarik sekali, karena pada dasarnya aku senang membaca cerpen, novel dan sejenisnya. Tapi untuk membuat, aku belum pernah sama sekali. Aku ragu saat itu, tapi Mas Agus menyemangati ku untuk segera menulis apapun yang ada dipikiran, jangan takut salah. Akhirnya dengan mencuri -curi waktu disela-sela kesibukan, jadilah cerpen pertamaku yang berjudul " Romansa Corona di Madrasah".

Dari sinilah, aku terus berlanjut mengikuti beberapa buku antologi, kebanyakan berupa cerpen, tapi juga ada puisi. Buku antologi yang aku buat betul-betul menguras energi dan waktu, sering kucuri-curi waktu diantara kesibukanku mengurus keluarga dan madrasah. Sering suami tidak Rido dengan apa yang kulakukan, katanya tidak ada manfaatnya, hanya kesenangan batin semata. Ku terima semua itu dengan lapang dada. Kadang ada benarnya juga. Anakpun sering protes, ibu kurang perhatian katanya, hanya didepan laptop terus. Ya Allah...ini ujian penulis pemula. Menulis di rumah, ku alihkan ke madrasah, kugunakan waktu istirahat di sekolah untuk mengetik naskah, waktu bercanda dengan teman-teman pun ikut tersita juga, mereka mulai menyindir "Kita punya penulis baru, jangan main main ya". Aku cuma tersenyum menanggapi sindiran mereka. Sabar...sabar...batinku.

Aku yang dasarnya orang cuekkan, tetap bertahan untuk tetap menulis. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, begitu batinku berkata. Aku tetap mengikuti menulis buku antologi. 

 Sampai suatu saat, aku lihat postingan Bapak Dail Ma'ruf  untuk mengikuti pelatihan menulis PGRI gelombang 25 dan 26. Tanpa pertimbangan yang banyak, aku langsung masuk grup wa gelombang 26.

Diawal pelatihan menulis PGRI ini diharuskan mempunyai blog. Kebetulan Bapak Brian Prasetyawan menawarkan untuk pelatihan membuat blog. Aku ikuti pelatihan bersama Bapak Brian. Alhamdulillah, aku sekarang sudah mempunyai blog. Blog sangat membantuku dalam menulis. Dimana pun berada, aku bisa menulis, asalkan punya paket data. Ini juga bisa menjadi senjataku untuk bisa menulis dengan diam-diam. Suami, anak dan teman-teman kadang tidak tahu kalau aku lagi menulis naskah. Mereka mengira aku lagi main hp atau pun lagi menjawab postingan wa. He..he...mereka terkecoh, hush...dosa. Terima kasih Bapak Brian, dengan blog jadi mudah untuk menulis.

Perjuanganku untuk tetep menulis tidak sampai disitu. Masih banyak cerita perjuangannya.

Hari ini aku bangun dengan lesu, badan terasa sakit semua. Dua hari ini kami lalui diperjalanan ke luar kota. Pertemuan menulis ke 21 dan 22yang digagas oleh Om Jay , hanya bisa disimak diperjalanan malam tanpa bisa membuat resume.

Walau badan lesu, aku paksakan aktifitas seperti biasa, bangun tidur langsung ke dapur untuk minum sekaligus mengisi panci besar untuk menjarang air minum. Kulanjutkan ke kamar mandi, wudlu dan bersiap sholat subuh. Terdengar suara air mendidih seusai solat subuh. Ku langkahkan kaki menuju ke dapur untuk menuang air panas ke termos. Kulanjutkan aktifitasku memasak makanan. Pagi ini aku masak sayur kangkung kesukaanku, sambal tak lupa kubuat, ditambah menggoreng tempe mendoan, ehmmm yummy...

Disela aktifitas di dapur, aku bangunkan anak - anakku untuk sholat subuh kemudian aku ke ruang jemuran untuk memasukkan cucian ke mesin cuci, jangan dibayangkan jumlah cucianya yang kami kumpulkan selama berlibur ke luar kota 2 hari. Menggunung seperti gunung anakan.

Baju, kerudung sudah rapi, tinggal berangkat sekolah. Tiba-tiba kudengar suara mesin cuci berhenti, tanda cucian tahap pertama selesai. Kuurungkan niat untuk berangkat.  Ku jemur dulu baju-baju yang sudah kucuci. Baru berlanjut ke sekolah. 

Pulang sekolah sudah sore hari, dengan badan yang sudah capai, di rumah sudah ditunggu pekerjaan selanjutnya. Mempersiapkan anak ngaji, mengambil  jemuran dan menggosok baju-baju yang sudah kering. 

Tidak terasa waktu sudah maqrib, sholat, tadarus dan mengajari anak belajar Al Qur'an Sampai isya. Habis isya dipastikan anak minta ditemani tidur. Tubuh yang kelelahan akhirnya ikut terlelap juga. Itulah sekelumit kegiatanku yang sulit sekali untuk membagi waktu untuk menulis.

Belum lagi kegiatan sosial yang banyak menyita waktu, ada arisan, pengajian, menjenguk orang sakit, kondangan dan " bayen ( menjenguk orang yang baru lahiran)". Maklum di desa, semua dilakukan dengan cara rombongan, apalagi kalau acaranya diluar didesa, misalnya mau bayen di luar desa, bisa rombongan sampai 3 bus. Rame sekali kaya mau Plesiran.

Sore itu, aku berniat untuk menyelesaikan 2 resume yang sempat tertinggal. Aku menyendiri di ruang kerja, kubiarkan anak bungsuku bermain di kamarnya dengan teman-temannya. Aku hanya mengulurkan uang jajan ke anakku ketika anakku membuka ruang kerja, karena anakku sudah bersiap untuk mengaji di TPQ.

Aku kembali melanjutkan menulis ku, sampai-sampai aku tidak mendengar kepulangan suamiku. Deru mesin motor pun tidak kudengar sama sekali. Tiba-tiba 

" Brakk". Suara barang dibanting dengan keras.

" Astaqfirullahal'adziim, suara apa itu" aku kaget.

Aku keluar kamar melihat apa yang terjadi. Kulihat suami sedang menyapu dan merapikan kamar anakku dengan wajah masam, masih memakai seragam sekolah yang belum sempat ganti. 

" Eh...sudah pulang pak? Ibu malah nggak dengar."


Komentar